Bahan Diskusi:
Buatlah komentar tentang artikel ini yang berhubungan dengan "LINI PRODUCT"
Setelah satu tahun Perjanjian Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) diberlakukan, Januari 2010, produk China praktis menguasai setiap lini di negeri ini. Kualitas seadanya, tetapi harganya yang murah meriah membuat produk China laku keras.
Kondisi itu terlihat dari data dan pantauan lapangan yang dihimpun Kompas sepanjang pekan lalu. Data menunjukkan, per akhir 2010, neraca perdagangan Indonesia-China defisit di pihak Indonesia. Nilai ekspor Indonesia ke China 49,2 miliar dollar AS, sementara nilai impor dari China sebesar 52 miliar dollar AS.
Barang China yang laku keras membuat nilai impor naik 45,9 persen dan berkontribusi 15 persen dari total impor Indonesia. Peningkatan terbesar terjadi pada enam produk, yakni mainan anak sebesar 72 persen, furnitur 54 persen, elektronik 90 persen, tekstil dan produk tekstil (TPT) 33 persen, permesinan 22,22 persen, dan logam 18 persen. Kondisi tersebut terus berlanjut hingga triwulan I tahun ini.
Harga yang lebih murah menjadi kekuatan produk China. Suryono, salah seorang pedagang sepatu di Tanah Abang, Jakarta, mengaku lebih senang menjual sepatu dari China karena lebih cepat laku. ”Harganya yang lebih murah membuat konsumen senang. Kalau penjualan tinggi, untung juga lumayan,” katanya.
Sepatu buatan China dijual Rp 25.000-Rp 50.000. Dalam sehari ia bisa menjual minimal 50 pasang sepatu. Bagi konsumen, membedakan sepatu buatan China dengan lokal bukanlah hal mudah. Dari segi merek, justru banyak sepatu China yang memakai merek bernuansa lokal.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Djimanto mengatakan, pemberlakuan ACFTA telah menuai dampak negatif. Sekitar 20 persen sektor industri manufaktur beralih ke sektor perdagangan.
Djimanto mencontohkan penyurutan manufaktur pada industri alas kaki. Dari sekitar 1,5 juta tenaga kerja, pada tahun 2010 sebanyak 300.000 orang di antaranya terpaksa dikenai pemutusan hubungan kerja (PHK). Jumlah penganggur kian bertambah.
Menurut dia, imbas dari surutnya sektor manufaktur adalah penggemukan di sektor perdagangan. Pergeseran tersebut terutama pada industri skala kecil. Kemudahan mendapatkan produk serupa dengan harga lebih murah membuat mereka dengan cepat beralih menjadi pedagang.
Apa yang diungkapkan Apindo ini juga menjadi kekhawatiran para pelaku usaha industri rotan, mebel kayu, tekstil, logam, dan batik yang ditemui Kompas selama sepekan ini. Bahkan, serbuan produk China sudah terjadi di Nagari Sungai Pua, Kecamatan Sungai Pua, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.
Bahan baku mahal
Dalam 10 tahun ini di wilayah nagari yang didominasi usaha pandai besi, kuningan, dan konfeksi terjadi penurunan jumlah pandai besi yang sangat drastis.
Wali Nagari Sungai Pua Feri Adrianto mengatakan, serbuan produk-produk China membuat penurunan jumlah unit usaha pandai besi hingga 50 persen dalam 10 tahun terakhir. ”Bahan baku mahal, biaya produksi tinggi, dan teknologi yang digunakan terbatas,” ujarnya.
Djoko Santosa, Wakil Ketua Badan Pengurus Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Jawa Tengah, ditemui di Solo, mengatakan, setiap menteri ibaratnya berjalan sendiri-sendiri tanpa strategi jelas.
”Ketika dalam rangka restrukturisasi supaya produksi efisien diberi insentif pembelian mesin tekstil dan produk tekstil sebesar 10 persen, tetapi dikenai lagi bea masuk mesin sebesar 5 persen. Ini kan lucu,” katanya. Produk TPT Indonesia semakin sulit menghadapi produk sejenis dari China.
Staf Khusus Menteri Perindustrian Benny Soetrisno, yang juga pengusaha tekstil, mendorong pemerintah lebih adil dalam mengembangkan industri, terutama dalam menghadapi ACFTA. Peraturan sudah banyak dibuat, tetapi tidak kuat dalam pengawasannya. Penyelundupan, misalnya, adalah masalah yang tak terpecahkan.
Kenaikan harga kapas, kata Benny, boleh jadi adalah masalah industri di seluruh dunia. Persoalannya, di Indonesia, kenaikan itu adalah urusan hidup-mati sebab industri TPT masih harus impor sekitar 95 persen. Adapun China sejak awal sudah memiliki bahan baku kapas untuk kebutuhan industrinya sebesar 80 persen, sedangkan sisanya 20 persen impor.
Ironisnya, bahan baku alternatif serat rayon dari bubur kertas (pulp) justru tidak diperkuat di dalam negeri. Serat rayon masih harus impor dari Afrika Selatan, Brasil, dan Kanada. Begitu pula dengan poliester sebagai turunan dari minyak bumi.
”Strategi industri kita seharusnya gencar dalam memanfaatkan tanaman industri. Strategi kita lemah. Kurang dikembangkan ke sisi hilir,” ujar Benny.
Ketua Asosiasi Industri Permebelan dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) Ahmad Fauzi ditemui di Jepara, Jawa Tengah, pun mengeluhkan mahalnya bahan baku. ”Ketika kayu mahal, ini sungguh menyulitkan kami dalam berkompetisi menghadapi serbuan mebel China yang kini masuk hingga ke kota-kota kecil dengan perantaraan jaringan toko mebel,” ujarnya.
Ketua Umum Asmindo Ambar Polah Tjahyono mengatakan, ironisnya, mahalnya bahan baku kayu yang membuat produk mebel sulit bersaing ditengarai akibat Perhutani mematok harga terlampau tinggi.
”Perhutani adalah badan yang ditargetkan memberikan keuntungan bagi pemerintah. Yang menentukan harga kayu adalah orang BUMN yang membawahi Perhutani dan tak mengerti kondisi lapangan. Sebetulnya sudah pernah ada harga kesepakatan dengan Asmindo, tetapi dinaikkan lagi di tingkat pusat,” kata Ambar.
Menurut Ambar, Asmindo akan bekerja sama dengan Perhutani untuk mendirikan warung kayu di setiap daerah industri mebel. Ini adalah cara Asmindo untuk menghadapi ACFTA yang sepatutnya disambut hangat pemerintah.
Harga bahan baku industri yang mahal sudah diketahui pemerintah. Hasil survei Kementerian Perindustrian tampak jelas betapa mahalnya bahan baku, kurangnya pasokan komponen, faktor permodalan yang sulit, hingga mahalnya energi, dituding penyebab kekalahan daya saing.
Survei yang dilakukan Kementerian Perindustrian langsung ke Shanghai dan Guangzhou, China, menemukan adanya praktik banting harga (dumping) untuk beberapa produk yang diekspor ke Indonesia.
Dari 190 barang yang diekspor ke Indonesia, ditemukan 30 produk dengan harga lebih murah dibandingkan dengan harga di pasar lokal mereka. Artinya China telah menerapkan politik dumping.
Meskipun demikian, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu menegaskan, ACFTA tak perlu dibatalkan. Dampak negatif akibat kesepakatan tersebut masih bisa diatasi dengan negosiasi antara pemerintah dan pelaku usaha. Pemerintah telah meminta China mengevaluasi barang-barang yang diekspor ke Indonesia.