SUATU ketika seorang mahasiswa tingkat undergraduate mengetuk ruang
kerja saya di Bevier Hall– University of Illinois, Amerika Serikat (AS).
Sebagai
teaching assistant di kampus itu, saya bertugas menggantikan seorang
profesor yang mengajar mata kuliah consumer economics. Selain mengajar,
saya juga membuat sebagian soal ujian dan memeriksanya. Dengan mimik
penuh percaya diri, dia menyampaikan masalahnya. Dia menunjuk lembar
jawaban soal yang terdiri atas pilihan berganda (multiple choice) yang
baru saja dia terima.Nilai yang dia dapat tidak terlalu jelek,tetapi dia
kurang puas dan mengajak saya berdiskusi, khusus pada sebuah soal yang
dianggapnya terbuka untuk didiskusikan. Setelah membacanya kembali,
tiba-tiba saya tersadar, soalnya memang konyol sekali.
Pertanyaannya
kurang lebih seperti ini. "Berapa lama rata-rata rumah tangga
menggunakan handuk mandi?" Tentu saja setiap orang punya jawaban yang
berbeda-beda. Namun karena mata kuliah ini didasarkan atas hasil riset,
maka mahasiswa harus menguasai dasardasar perilaku konsumen yang datanya
diperoleh secara riil dari riset. Jawabannya semua ada di buku teks.
Jadi kalau buku dibaca atau bahan kuliah dipelototi, pasti mereka mudah
menemukan jawabannya. Di buku teks jawaban tertulis, rata-rata rumah
tangga mengonsumsi handuk selama delapan tahun. Dia memilih jawaban dua
tahun.Tentu saja saya mencoretnya.
Bagi seorang guru, menemukan
murid seperti ini mungkin biasa saja. Namun cerita berikut ini mungkin
dapat mengubah pandangan Anda tentang cara mendidik atau bahkan
membimbing orang lain, karyawan,atau bahkan diri sendiri agar berhasil
dalam hidup.
Kekuatan Argumentasi
Mahasiswa
saya tadi mengajak saya berdiskusi, "Prof," ujarnya. "Jawaban ini
salah." Saya mengernyitkan dahi.Maklum, belum pernah saya mendengar
seorang mahasiswa di tingkat persiapan berani-beraninya menyalahkan
soal, apalagi menyalahkan isi buku. "Maksud saya, setelah saya
tanya-tanya ke kiri-kanan, tak ada orang yang menyimpan handuk mandi
sampai 8 tahun,"lanjutnya.
"Jadi berapa tahun?" tanya saya.
"Yadua tahun.Ini jawaban saya benar,"katanya lagi. Saya pun teringat
dengan cara teman-teman saya sewaktu kuliah dulu mengakali dosen yang
"lemah". Dosen seperti itu biasanya gampang diajak kompromi dan kalau
kita pintar mengambil hatinya, angka bisa berubah.Maka,di kepala
saya,berkompromi bukanlah karakter saya. Berkompromi sama dengan
kelemahan, lembek, merendahkan martabat, plinplan. "Jadilah guru yang
teguh." Kalimat itu terus mengalir di hati saya. Kompromi itu jelek,
lemah, tidak konsisten, tidak berwibawa. "Ah, kamu ini cuma cari
pembenaran saja. Ini justifikasi namanya.Pokoknya jawaban Anda salah.
Apa
Anda tidak baca buku. Coba buka halaman 40," ujar saya pada mahasiswa
tadi. "Betul,"katanya lagi. "Di buku memang tertulis begitu.Saya tahu."
"Ah, Anda tidak baca saja…," ujar saya lagi. "Bukan, tetapi ini tidak
masuk akal." Dia mencoba menjelaskan.Namun sebagai orang Indonesia yang
terbiasa dididik tanpa kompromi di sekolah, saya mencoba untuk tidak
mendengarkan argumentasinya. Saya khawatir wibawa saya terganggu. Dosen
kokdidebat. Namun dia tetap menjelaskan panjang lebar bahwa sekarang
tidak ada lagi handuk yang seawet itu.
Dua tahun sudah
rusak."Dulu sabunnya tidak sekuat yang sekarang, lagipula mana ada
produsen yang mau membuat handuk dengan material yang kuat dan harganya
mahal? Konsumen memilih yang terjangkau dan produsen memilih
barang-barang yang murah.Kalau cepat rusak tak apa-apa,setelah itu beli
lagi,"katanya bersemangat. Matanya berbinar menjelaskan gagasannya dan
penuh harap saya mau mengubah pendapat saya. Saya masih ingat dia
menjelaskan tentang mesin cuci yang dulu tidak dipakai rumah tangga
sehingga tidak merusak material. Lama kita berdebat dan sebenarnya saya
suka mempunyai peserta didik yang kritis seperti itu. Namun, sebagai
guru dari Indonesia, saya tidak suka ditawar-tawar.
Ini soal
integritas. "Nope," jawab saya menolak permohonannya agar saya
mengoreksi nilainya. Dia pun keluar dengan kecewa. Saya berpikir, urusan
pun selesai. Namun, di luar dugaan, setengah jam kemudian dia kembali
lagi. Kali ini dia datang diantar profesor saya.Seperti tak ada masalah
sama sekali profesor itu datang dengan penuh senyum. "Rhenald,"ujarnya.
"I talk to this guy, and I like his idea." Sudah tahu arahnya, saya pun
segera menukas."Yes, he did talk to me, and indeed he was wrong. He
didn't give the right answer," ujar saya.
"Saya mengerti," jawab
profesor itu,"Tapi perhatikan ini.Saya suka cara berpikirnya. Dia memang
memberi jawaban yang berbeda dengan buku, tetapi argumentasinya kuat
dan dia benar." Singkat cerita, profesor itu meminta saya agar
mendengarkannya dan memahami logika anak itu. Kejadian itu sekali lagi
telah membuka pikiran saya. Betapa memalukannya otak reptil saya. Guru
kok tertutup. Namun, saya beruntung segera menyadari kesalahan saya.
Saya belajar bahwa saya menganut nilai-nilai yang salah.Tertutup, tak
berkompromi, tegas, teguh, terlalu mengedepankan wibawa hanyalah
merupakan bentuk defensif saya sebagai guru yang sebenarnya hanya
perwujudan dari rasa takut yang berlebihan saja.
Takut dibilang
lembek, kompromistis, mudah dirayu, tidak objektif,dan
sebagainya.Pendapat yang semula saya tentang kini harus saya terima dan
nilai anak itu saya koreksi. Bahkan seperti penjual kacang rebus yang
suka menambah kacang ke dalam bungkusan pelanggannya, saya pun
memberikan bonus angka kepadanya. Mendidik adalah lebih dari sekadar
menjaga imej.
Mendidik adalah proses menjadikan orang lain
seorang "master" dan bukan menciptakan pengikut.Yang ingin kita lahirkan
adalah manusia yang mampu berpikir,terbuka terhadap logika. Bukan
manusia-manusia dogmatik yang hanya mengikuti maunya kita,menulis apa
yang kita diktekan, berpendapat apa yang menjadi pikiran kita, dan tak
bisa menerima perbedaan pendapat. Malas berpikir.
Keluar dari Buku
Kisah
anak-anak yang tak mampu berpikir di luar buku teks sudah banyak kita
saksikan. Salah satu film yang paling saya suka dan selalu saya pakai
untuk mengajari dosen-dosen muda menjadi pendidik adalah potongan film
yang dibintangi Julia Roberts berjudul Monalisa Smile. Dalam film itu
dikisahkan kesulitan seorang guru yang mengajar karena setiap kali dia
menampilkan slide yang diambil dari buku, selalu disambar muridmuridnya
yang berebut menjelaskan.
Dia benar-benar bingung. Muridnya
aktif-aktif dan pintarpintar. Mereka sudah membaca assignment sebelum
pelajaran dimulai.Mereka benar-benar telah mempersiapkan diri dengan
baik sebelum masuk kelas dengan membaca, membuat ringkasan, dan memiliki
kepercayaan diri yang kuat dan aktif berbicara. Hari pertama mengajar
dia gagal total. Namun minggu berikutnya, setelah merenungi dalam-dalam,
dia mendapatkan ide. Kali ini dia mengajak muridmuridnya keluar dari
buku teks. Dia menunjukkan slide yang sama sekali baru.Tak ada di buku
dan bahan ajarannya sama sekali baru. "Coba lihatlah gambar ini. Apakah
ini bagus?" Semua murid tertegun.
Gambar itu belum pernah mereka
lihat dan tanpa referensi mereka tidak punya acuan sama sekali.Padahal,
selama ini mereka hanya mengikuti perintah buku. Gambar itu bagus kalau
kalimat di buku berkata gambar itu bagus. Sekarang saat gambar itu tak
ada penjelasannya, mereka pun tak berani berpendapat. Mereka saling
lihat kirikanan. Seorang yang mencoba menjawab kebingungan. "Apakah ada
gambar yang bagus?" "Siapa yang berhak mengatakannya?" "Sesuatu yang
bagus itu akan menjadi bagus tergantung siapa yang mengatakannya."
Mereka terbelah. Ibu guru pun menjelaskan wisdom-nya. "Look, kalian baru
saja keluar dari cara berpikir buku teks," ujarnya.
Dia
mengajarkan perihal kehidupan, yaitu berani berpendapat dan membuat
keputusan pribadi. Apa yang dapat dipelajari dari film Monalisa Smile
dan kasus yang saya alami saat saya menjadi teaching assistant di
University of Illinois dan berhadapan dengan mahasiswa yang minta agar
saya mengoreksi jawaban soalnya 15 tahun yang lalu itu? Benar! Kita
adalah manusia dan tugas guru adalah mendidik manusia,memerdekakannya
dari segala tekanan, dari perilakuperilaku buruk, dari pikiranpikiran
negatif, dari rasa sok pintarnya yang sesungguhnya belum apa-apa, dari
belenggu-belenggu dogma, dan mengajaknya melihat keindahan dari apa yang
diciptakan Tuhan.
Dari semua itu,yang terpenting adalah
bagaimana kita hidup dengan otak yang terbuka dan mengajarkan
keterbukaan. Bukankah otak kita bekerjanya seperti parasut, yang artinya
dia baru bisa dipakai kalau dia mengembang dan terbuka? Itulah yang
saya ajukan selama ini kepada anak-anak didik saya dan terbukti mereka
mampu menjadi orang-orang yang hebat. Itu pula yang saya sharing-kan
kepada para guru dan dosen. Sebagian orang cepat mengubah diri, tapi
sebagian pendidik lain tidak peduli dengan cara ini. Mereka tetap ingin
mengajar dengan cara-cara dogmatik. Ingin dipuja tanpa argumentasi,tak
mau mendengarkan, takut dibilang lembek, dan ingin diterima bak seorang
ulama besar yang tak terbantahkan. Itulah hidup, tak semua orang mau
berubah. Namun Anda tak perlu cemas.
Orang-orang seperti itu
sudah pernah menyurati saya dengan amarah berlembar-lembar. Mereka
menembaki saya dengan ratusan peluru. Di antara suratsurat cinta mereka
pun ada yang berisi ancaman, memperingatkan saya dan mengusir dari
keguruan ini. Namun saya berkeyakinan, seorang pendidik sejati tak akan
menyerah oleh ancaman-ancaman kosong. Dia tak berorientasi pada
persaingan, melainkan pada masa depan anak-anaknya.(*)
*) Rhenald Kasali, Ketua Program MM UI